Suhu malam sangat dingin untuk dirasakan, kulitku sendiri yang dapat tahu. Udaranya sangat tidak aman, bisa jadi tidur merupakan salah satu pilihan terbaik tetapi saat itu rasa kantuk tidak juga menghampiri mata.
Dalam lamunanku, peristiwa siang tadi yang terus lalu lalang dalam pikiranku.
“Tak butuh kamu”!
“Udah ada orang yang bantuin, jadi gak butuh kamu”.
Bagai dunia runtuh. Serasa semua kegelapan menjadi satu tempat, tempat itu tepat berada di atas kepalaku.
Gak kerasa air mata berjatuhan dibalik kacamata minusku. Segera aku memberikan secarik kertas laporan kegiatan tamasya minggu lalu. Kepalaku tertunduk diiringi linangan air mata. Serta langsung berlalu dari ruangan kantor itu dan dalam situasiku yang betul- betul gak paham apa maksud dari situasi itu.
dia hanya menolehku sebentar dengan tatapan gak peduli… dan akupun berlalu.
Nama nya adalah Tyas.
Aku dan Tyas, kami banyak mengalami berbagai musim dalam kehidupan.
Kebersamaan kami sudah delapan tahun, tetapi saya betul- betul belum paham dengan peristiwa siang tadi.
Airmataku masih terus mengalir memegangi handphone dengan nama Tyas. Aku masih belum berani untuk mengirimi dia pesan atau menelponnya. Kesimpulannya saya terlelap dalam tidurku dengan banyaknya persoalan tentang Tyas.
Mentari pagi terbit serta menembus jendela kamar tidurku. Tidak seperti biasanya cuma terdapat satu pemberitahuan di handphonku, itu hanya reminder alarm yang mengingatkanku untuk berdoa sebelum melakukan aktifitasku sepanjang hari ini.
Biasanya Tyas meneleponku pagi- pagi sekali atau mengirim pesan lewat WAcuma buat mengingatkanku untuk menyiapkan materi-materi yang akan dibahas di kantor, dengan kata- katanya yang telah kuhafal. “morning beb, jangan lupa materi pagi trus jangan sampai telat ke kantor ya” tetapi hari ini tidak ada pesan apa pun dari Tyas.
Kulirik jam tanganku yang sudah menampilkan jam 8 lewat 40 menit yang tandanya aku harus berangkat sekarang juga ke kantor penerbit Titanum.
Tyas adalah sahabatku, selama delapan tahun kami merintis usaha penerbitan majalah Titanum bersama-sama. Banyak musim telah kami lewati. Bahkan terjadi krisis besar-besaran sekalipun tidak menjadikan hubungan kami sekacau sekarang. Sesampainya aku di kantor, saya langsung bergegas ke kantor untuk menemui Tyas. Banyak hal yang akan aku tanyakan padanya. Sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor, dibenakku hanya ada kata “ mengapa Tyas bersikap begitu?”
Setibanya aku di kantor, tidak nampak mobil tyas yang biasa terparkir di taman kantor, tetapi bisa jadi mobil Tyas lagi di bengkel karena beberapa hari lalu dia mengeluh ada yang tidak beres pada setir mobinya.
Kondisi kantor hening. Saya tidak menemukan Tyas di meja nya. Kucoba menanyakann ke karyawan yang ada di ruangan lain tetapi tidak terdapat satu orang juga yang tahu tentang keberadaannya, tetapi tiba-tiba dari halaman depan aku melihat kakaknya Tyas datang dengan terburu-buru menghampiriku kemudian berkata“ maaf Beb, tadi malam Tyas masuk ke RS Tiara, dan kondisinya dalam keadaan koma, dokter telah memvonis Tyas menderita kanker rahim stadium akhir”
Mendadak hati ini bagai terserang sambaran petir, kaget bercampur dengan kesedihan, dikala seperti itu terbesit di ingatanku dengan peristiwa kemaren siang.
Pelukan kakak Tyas kak Miranda, dan tangisannya menambah kebingunganku saat itu. Kak Miranda membawaku ke mobilnya dan saat itu kami berangkat ke RS Tiara. Dalam perjalanan aku hanya terdiam, kembali air mataku mulai menetes saya tidak dapat berfikir tentang apa pun,“ kenapa Tuhan melakukan semua ini dalam hidup kami dan kenapa Tyas melakukan ini juga padaku” ucapku lirih.
Langkahku cepat menelusuri rumah sakit, setibanya di ruang ICU, aku masih terus berjalan dengan secercah air mata membasahi pipiku. Dan terus berjalan dengan langkah terseok-seok. aku pun akhirnya melihat tubuh Tyas telah kaku, semua dingin dan Tyas telah menutup matanya untuk selamanya. Mengapa aku harus melihat ini? Bathinku menjerit.
Selama ini, Tyas telah berjuang sendiri melawan kanker rahim dalam tubuhnya. Tanpa siapa pun yang tahu penyakitnya dan seberapa sakit dia ketika sendirian merasakan sakitnya. Tyas adalah sahabtu yang tak pernah mau meyusahkan orang disekitarnya. Dia selalu ceria, dan penyemangat. Selalu punya ide, selalu tersenyum dan selalu optimis.
Kuhampiri tempat tidur dimana tubuh Tyas sahabatku dibaringkan. Melihat hanya jenazahnya di depan mata. Tanganku ragu buat membuka kain penutup tubuhnya, dan kugapai tangannya yang dingin dan kaku dan kubisikkan :
“Kamu memang sudah tak butuh aku”!
“Kamu udah senang bersama Tuhan di Sorga, jadi gak butuh aku”.
Kupeluk tubuhnya, tak ada lagi respon darinya. Aku semakin terpukul, hatiku hancur seperti mau mati rasanya. Ishak tangis keluarganya menyadarkanku, kepergian Tyas begitu membuat luka di hati kami semua yang mengasihinya.
Dua minggu setelah kepergian Tyas, aku mulai ke kantor lagi, masuk keruangan yang biasa aku dan Tyas duduk, dan membahas tentang segalanya. Kubuka laci mejanya dan akupun menemukan sepucuk surat. Untuk sesaat keraguan dipikiranku untuk membuka dan membaca surat itu, jantungku berdetak tak karuan, dan airmataku pun mulai menetes lagi. Dengan gemetar kucoba kuatkan hatiku buat membaca pesan pemberian Tyas untuk terakhir kalinya. Aku tau, seluruh jawaban dari peristiwa siang itu terdapat di dalamnya.
Dear Bebi
Aku mengasihi kamu, bagi aku kamu adalah bagian dari hidupku. Dan aku tau perasaan yang sama yang kamu rasakan terhadap aku. Sori, aku tidak mampu mengatakan padamu tentang penyakitku, tentang hidupku tidak akan lama lagi, tentang aku akan meninggalkanmu selamanya. Satu hal yang harus kamu tau tanganku hampit tak sanggup menulis tiap kata di pesan ini, sangat banyak air mata di tiap katanya.
Bebi, saat kamu membaca pesan ini, aku sudah damai bersama Bapa di Sorga. Aku sangat bahagia. Terimakasih telah menjadi sahabatku dan mengisi banyak hari-hari bersamaku selama delapan tahun ini. Terimaksih telah mengenalkan Bapa yang sangat baik itu kepadaku dan keluargaku sehingga aku tak ragu lagi untuk pergi meninggalkan keluargaku karena aku tau dan sangat yakin Tuhan Yesus menjaga mereka dan kita semua akan berkumpul kembali di kekalan.
Jaga dirimu baik- baik, jangan telat ke kantor. Tetaplah menjadi yang terbaik.
Salam Sukacita – Tyas sahabat terbaikmu.
Sekarang tak ada lagi senyum Tyas. Air mata ku mengalir tak bisa kukendalikan lagi.
“aku harus kuat”
aku menghapus airmataku, lalu berdiri. Walau beberapa tetes air mata terus keluar dari mataku saat mengingat kenangan bersama Tyas. Namun aku harus tetap kuat. Aku sangat yakin bahwa Tyas, Sahabat terbaikku telah bahagia di Sorga.
Aku akan mulai berjalan meninggalkan kesedihan karena kepergian Tyas, dan ketika aku berada di depan gerbang kantor. Aku berbalik, melihat sesosok bayangan mirip Tyas tepat berdiri di pintu kantor. Aku hanya tersenyum dan yakin semua akan baik-baik saja. Aku akan meneruskan perjalanan yang sempat tertunda dengan baik.