You are currently viewing Apakah Ada Ujungnya?

Apakah Ada Ujungnya?

Lampu merah menyala, saatnya mobil berhenti dan memberikan kesempatan untuk pejalan kaki untuk berjalan. Di jalan Rara merasa sakit kepala.

“Ra, are you okay?” tanya Gaby.

“Iya aku baik-baik aja” jawab Rara.

“Bener kamu baik-baik aja?” tanya sekali lagi oleh Gaby.

“Iya. Lebih baik kita cepat-cepat, agar aku bisa istirahat di rumah” jawab Rara.

Tanpa terdengar sepatahkatapun dari kedua wanita mungil itu, mereka cepat-cepat berjalan. Sesampainya di rumah Rara masuk kamar dan tidur.

Bangun tidur Rara masih merasa sangat kesal karena peristiwa tadi pagi. Dada terasa sesak, air mata keluar dengan sendirinya beriringan dengan aliran ingatan tentang lima tahun lalu. “Ah, kerja kerasku selama ini sia-sia lagi?”Bukankah aku sudah memberikan usaha terbaikku? tanyaku dalam hati. Meskipun yang ada dalam gambaran kenangan mengenai perjuangan yang tak kenal lelah, meskipun demikian semuanya tetaplah rangkaian peristiwa yang indah untuk dikenang, namun tetap saja membuat hatinya bersedih karena peristiwa tadi pagi. Lama aku termenung sambil memegang segelas kopi dikantin kantorku, kemudian seseorang memegang bahuku dari arah belakang, aku terkejut dan langsung berbalik arah, “Kay? sedang apa kamu disini?” tanyaku. Sesungguhnya pula bila aku bisa datang ke masa laluku, aku akan berusaha untuk menghindari pertemuan kita, aku tidak akan menjabat tanganmu untuk berkenalan. Tetapi, apakah ada sebuah mesin waktu yang dapat kutumpangi seperti di drama-drama korea untuk pergi ke masa itu? Jika ada apakah mesin itu akan mampu bekerja dengan sempurna. Seperti keinginanku yang mungkin kekanak-kanakan. Aku menginginkan kita tak pernah bertemu sehingga sakit yang sekarang kuderita karena perpisahan dengan saudari kembarmu tidak pernah kurasakan.

Tapi, benar juga bahwa tidak ada yang bisa menggantikan sahabat. Seseorang yang tetap bersamamu apa pun yang terjadi, Seseorang yang melakukan hal-hal konyol hanya untuk membuatmu tersenyum, seseorang yang akan mempertaruhkan waktunya hanya untukmu, seseorang yang peduli padamu seperti saudaranya sendiri. Itulah Raina.

Aku dan Raina duduk bersebelahan selama tiga tahun masa SMA dan ya, kami menjadi teman baik. Kami berada dilingkungan perumahan yang sama, dan rumahnya hanya beda 2 blok dari rumahku. Bagaimanapun, masalahnya adalah kami benar-benar saling mengenal dan bahkan terbiasa melengkapi hidup satu sama lain.

Dan suatu hari, Raina menyadari bahwa Rara bukan lagi sahabat nya. Rara punya beberapa teman baru dan Raina merasa Rara mengabaikannya. Sekarang, Raina kesepian, dan dia pikir tidak ada yang peduli dengannya. Raina tidak memiliki siapa pun yang peduli dengannya. Semua beban berat bahkan sangat berat seakan tak mampu lagi untuk ditanggung. Raina menjadi sangat tertekan dan marah sehingga dia tidak dapat menahan rasa sakit lagi. Raina akhirnya melakukannya, dia menyakiti diri sendiri. Dan mengakhiri semuanya.

Keesokan harinya, orang tuanya dengan berlinang air mata menyampaikan kabar dukacita. “Sahabat” ku Raina ada di sana, di peti mati yang akan turun perlahan ke tanah. Aku menatap peti dengan air mata penyesalan. Di sana Aku hancur hati, sesak karena penyesalan dan menangis. dan berpikir “seandainya aku tidak berubah, apakah keadaannya berbeda? Seharusnya aku lebih peduli. ”

 –menangis–

Tapi sudah terlambat. Hidupnya telah hilang.

Suatu hari, mereka pindah rumah dan aku pergi ke sana untuk membantu mereka dalam proses perpindahan. Ketika Aku masuk ke kamar Raina, aku menemukan buku harian dan penasaran ingin tahu apa yang ada di dalamnya. Aku membuka buku harian itu. Ada beberapa halaman yang terisi. Dari goresan tangannya tertulis betapa beban hidupnya sangat berat, dia butuh seseorang untuk mendengarkan dan membantunya, tapi tidak seorangpun tersisa disampingnya. Dihalaman terakhir, kata-kata yang terakhir yang ditulis di buku hariannya membuat air mataku mengalir dari mataku. Dia menulis, “Rara, Tetap saja, aku selalu merasa kamu bersamaku, hanya saja sekarang kamu sedang sibuk. Terima kasih telah bersamaku sebagai sahabat terbaikku.” Aku hanya berharap kamu lebih bahagia, -Raina-.”

Mataku dipenuhi air mata dan aku menangis meraung-raung. Dan saat itu Kay masuk, memegang bahuku, menenangkanku saat itu aku baru lihat wajah kembaran Raina, wajah yang benar-benar mirip dengan wajah Raina.

Hidup tidak selalu berjalan seperti yang Anda inginkan dan aku berusaha melakukan yang terbaik dan dan berdamai dengan diri sendiri. Memang butuh waktu lama memerangi rasa bersalah, bahkan mungkin butuh perjuangan seumur hidup dan sulit… memerlukan komitmen. Aku berjuang untuk diriku sendiri.

Setelah aku akhirnya menerima masa lalu itu, aku yakin bisa fokus pada masa depan.

`FS`

Leave a Reply